BAB I
PENDAHULUAN
A. TUJUAN PENULISAN
1.
Mahasiswa mampu mengetahui farmakokinetika obat selama kehamilan dan pengaruh obat pada janin
2.
Mahasiswa mengenal indeks
keamanan antibiotik pada ibu hamil dan menyusui.
B. LATAR BELAKANG
Selama masa kehamilan, ibu dan janin
adalah unit fungsi yang tak terpisahkan. Apa yang dikonsumsi oleh ibu akan
ditransfer ke janin. Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk
fungsi optimal dan perkembangan kedua bagian unit tersebut yaitu ibu dan janin.
Menjaga asupan gizi menjadi hal penting bagi bumil (Ibu Hamil) agar ibu dan
janin sehat hingga hari kelahiran.
Selama kehamilan sangat sering kali
ibu hamil mengalami gangguan kesehatan sehingga membutuhkan obat. Akan tetapi
ada beberapa Obat-obatan yang dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki
pada janin selama masa kehamilan. Selama ini banyak ibu hamil menggunakan obat
dan suplemen pada periode organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko
terjadi cacat janin lebih besar. Beberapa obat dapat memberi risiko bagi
kesehatan ibu, dan dapat memberi efek pada janin juga. Selama trimester
pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir (teratogenesis), dan risiko
terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama trimester kedua dan ketiga, obat
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara fungsional pada
janin.
Karena banyak obat yang dapat
melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu berhati-hati.
Plasenta merupakan sarana transfer apa yang dikonsumsi ibu kepada janin. Dalam
plasenta obat mengalami proses biotransformasi, mungkin sebagai upaya
perlindungan dan dapat terbentuk senyawa antara yang reaktif, yang bersifat
teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik atau obat-obat yang dapat
menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik dapat ditransfer ke janin dan
merusak atau mengganggu janin.
Kesehatan ibu saat kehamilan sangat
menentukan perkembangan janin. Berbagai macam penyakit mulai ringan hingga
berat bisa saja terjadi. Tidak jarang untuk menghilangkan rasa sakit yang
ditimbulkan pada akhirnya ibu mengkonsumsi berbagai obat. Namun banyak
obat-obatan yang dikonsumsi ibu dapat masuk dalam plasenta dan mempengaruhi
janin. Oleh karena itu, baik pemberian dan pembelian obat perlu dilakukan
dengan hati-hati.
Ada kalanya, ibu hamil yang
mengalami infeksi memerlukan penggunaan antibiotik sebagai pilihan obat.
Sebagian antibiotik pada semua fase kehamilan aman dikonsumsi, sebagian lagi
dikontraindikasikan pada fase tertentu, dan ada juga yang dikontraindikasikan
untuk semua fase kehamilan.
Sebuah studi yang dipublikasikan di
American Journal of Obstetrics and Gynecology, melaporkan, sekitar 46
persen ibu yang terlibat dalam studi menggunakan beberapa jenis antibiotik
selama kehamilan atau selama proses melahirkan. Bayi-bayi yang terpapar dengan
obat-obatan ini mengalami penurunan kemampuan melawan infeksi. Selain itu,
hampir 50 persen dari bayi-bayi ini kebal terhadap ampicillin, spektrum
antibiotik yang banyak digunakan.
Ibu hamil sebaiknya menghindari
antibiotik yang diresepkan untuk mengatasi tuberculosis, infeksi saluran
pernafasan dan jerawat. Obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi tuberculosis
bisa menyebabkan ketulian pada anak. Selain itu, beberapa jenis antibiotik
tersebut bisa menghitamkan gigi bayi Anda.
Kehamilan
akan mempengaruhi pemilihan antibiotik. Umumnya penisilin dan sefalosporin
dianggap sebagai preparat pilihan pertama pada kehamilan, karena pemberian
sebagian besar antibiotik lainnya berkaitan dengan peningkatan risiko
malformasi pada janin. Bagi beberapa obat antibiotik, seperti eritromisin,
risiko tersebut rendah dan kadang-kadang setiap risiko pada janin harus
dipertimbangkan terhadap keseriusan infeksi pada ibu.
Beberapa
jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini terjadi karena
antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat mempengaruhi janin yang
dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang demikian itu disebut teratogen.
Definisi teratogen adalah suatu obat atau zat yang menyebabkan pertumbuhan
janin yang abnormal. Kata teratogen berasal dari bahasa Yunani teras, yang
berarti monster, dan genesis yang berarti asal. Jadi teratogenesis
didefinisikan sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan proses
pertumbuhan yang menghasilkan monster.
Besarnya
reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika dipengaruhi oleh
besarnya dosis yang diberikan, lama dan saat pemberian serta sifat genetik ibu dan janin.
C. RUMUSAN MASALAH.
1. Apakah faktor - faktor yang
dapat mempengaruhi efek pada janin.
2. Bagaimanakah farmakokinetika obat selama kehamilan.
3. Bagaimanakah pengaruh obat pada janin.
4. Bagaimanakah efek antibiotik pada kehamilan.
5. Bagaimanakah indeks keamanan kehamilan antibiotik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
FAKTOR - FAKTOR YANG
DAPAT MEMPENGARUHI EFEK PADA JANIN
Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin
dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara
umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan
memberikan efek pada janin adalah:
1. Sifat fisikokimiawi dari obat.
2. Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan
mencapai sirkulasi janinLamanya pemaparan terhadap obat.
3. Bagaimana obat didistribusikan ke
jaringan-jaringan yang berbeda pada janin.
4. Periode perkembangan janin saat obat diberikan.
5. Efek obat jika diberikan dalam bentuk
kombinasi
Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat
lipofilik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung
untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering
digunakan pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera setelah
pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan.
Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin,
akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat
rendah pada janin. Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga
ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat
secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan
obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta. Kehamilan
merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi janin. Salah
satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika
diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid, yang memberi efek kelainan
kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota gerak. Untuk itu,
pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar
matang.
Ø
Perpindahan obat lewat plasenta.
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi
sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta
akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Seperti juga pada
membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal
dibawah ini. :
•
Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah
melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang
umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru
dilahirkan.
• Derajat
ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta.
Sebaliknya obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil
kholin dan tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah
obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta
sehingga kadarnya di di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh
kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini
hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat
melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan dalam lemak dari
sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas membran plasenta
terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi
ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah
besar.
• Ukuran
molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah
melewati pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat
ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit
melewati plasenta dan obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan
sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah heparin,
mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar,
tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang
aman pada kehamilan.
• Ikatan
protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas)
yang dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama
albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila
obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi,
misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi
kecepatan melewati plasenta lebih tergantung
pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan
terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh
besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin
juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein
lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain
yang merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah
(305 Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain
cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
Ø Metabolisme
obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu
adalah.
·
Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga
sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur
utama metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi
oksidasi aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital.
Sebaliknya , kapasitas metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya
atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan
benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang
struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami
metabolisme yang bermakna di plasenta.
·
Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin
lewat vena umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati
janin, sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke
hati janin, mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum
janin, walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh
banyak pada metabolisme obat maternal.
Ø Kerja obat
teratogenik.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi
struktur janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar
pengaruhnya pada perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah
terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan berefek pada saat waktu kritis
pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat sampai minggu ke tujuh
kehamilan. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik
belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi faktor.
·
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak
langsung mempengaruhi jaringan janin.
·
Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat
plasenta sehingga mempengaruhi jaringan janin.
·
Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan
janin, misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan
normal. Dervat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang
potensial.
·
Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan
pada abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat
menurunkan insiden kerusakan pada selubung saraf , yang menyebabkan
timbulnya spina bifida.
Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif.
Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan , terutama pada
kehamilan trimester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome
yang berpengaruh pada sistem saraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan
muka.
Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya
talidomid, asam valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam
lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu,
sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel
embrio.
B.
FARMAKOKINETIKA OBAT SELAMA KEHAMILAN.
1.
Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung
hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga
obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi.
Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada
fase selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga
absopsi obat-obat yang sukar larut (misalnya digoksin) akan meningkat, sedang
absopsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya
klorpromazin akan menurun.
2.
Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu
akan meningkat, dan mencapai 50% pada akhir kehamilan. Sebagai salah satu
akibatnya obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan
ditemukan dalam kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis
lazim. Di samping itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar
protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin
menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan
glikoprotein meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat
pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein.
Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat,
sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fraksi bebas
obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium valproat terbukti meningkat
secara bermakna pada akhir kehamilan.
3.
Eliminasi
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah
ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan
eliminasi obat-obat yang terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan
meningkatnya aktivitas mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling
berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu
yang mengalami olsidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan
karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan
menurun lebih cepat, terutama pada trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada
keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang
diharapkan.
C.
PENGARUH OBAT PADA JANIN.
Pengaruh buruk obat terhadap janin
dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan
umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang
diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau
biokimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa
saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan
terjadinya malformasi anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh
teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat
yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan.
Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan
fase-fase berikut :
1.
Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu.
Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali.
Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau
berakhirnya kehamilan (abortus).
2.
Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara
4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya
malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang
mungkin terjadi pada fase ini antara lain :
·
Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru
muncul kemudian, jadi tidak timbul
secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).
secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).
·
Pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus
·
Pengaruh
subletal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ,
seperti misalnya fokolemia karena talidomid.
3.
Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam
fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh
buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi
anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap
fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh
obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat
yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus
karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti
analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada sistem ekstrapiramidal
setelah pemakaian fenotiazin.
D. ANTIBIOTIK PADA KEHAMILAN.
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang
terjadi, mengingat secara alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini
lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter
dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa
saat setelah melahirkan. Dalam
menghadapi kehamilan dengan infeksi,
pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.
pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.
Ø Penisilin.
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah
menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan
amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun
perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat
kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
·
Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
·
Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.
Ø Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika
diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi
janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu,
tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh
ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia
hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang
mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.
Ø Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat
dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi
janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan
terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan
gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini
bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses
remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika
diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan
mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang
bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya
lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada
wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.
Ø Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat
D, yang penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian
malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian
aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu
aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik pada ibu,
dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin,
terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan.
Ø Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil,
terutama pada trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat
menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit
sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen
protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang
cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam
kategori C, yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan
pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian kloramfenikol
selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir
menjelang kelahiran dan selama menyusui.
Ø Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat
melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih
rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama
pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin
dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya
kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap
sampai 7 hari setelah bayi lahir.
Ø Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil
relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua
jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya
mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin
dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati
infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan
penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama.
Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk
infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya
tetrasiklin.
Ø Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas,
trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih
tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari
ibu. Pada uji hewan,
trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar.
Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada
janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa
harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan,
diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
Ø Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran
kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan
fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah.
Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma
janin juga meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat
meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan
terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada
periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
E.
INDEKS KEAMANAN KEHAMILAN ANTIBIOTIK
Obat dikategorikan berdasarkan resiko terhadap
sistem reproduksi dan perkembangan janin dan besarnya perbandingan resiko dan
manfaat.
·
Kategori A : Studi terkontrol pada wanita tidak memperhatikan
adanya risiko terhadap janin pada kehamilan trimester 1 (dan tidak ada bukti
mengenai risiko pada trimester selanjutnya), dan sangat rendah kemungkinannya
untuk membahayakan janin.
·
Kategori B: studi pada system reproduksi binatang percobaan
tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin, tetapi studi terkontrol pada
wanita hamil bselum pernah dilakukan. Atau studi terhadap reproduksi binatang
percobaan memperlihatkan adanya efek samping obat (selain penurunan fertilitas)
yang tidak diperlihatkan pada studi terkontrol pada wanita hamil trimester 1
(dan tidak ada bukti mengenai risiko pada trimester berikutnya).
·
Kategori C : studi pada binatang percobaan
memperlihatkan adanya efek samping pada janin (teratogenik atau embriosidal
atau efek samping lainnya) dan belum ada studi terkontrol pada wanita atau
studi terhaap wanita dan binatang percobaan tidak dapat dilakukan . obat hanya
dapat diberikan jika manfaat yang diperoleh lebih besar dari risiko yang
mungkin ditimbulkan pada janin.
·
Kategori D : terbukti menimbulkan risiko terhadap
janin manusia, tetapi besarnya manfaat yang diperoleh jika digunakan pada
wanita hamil dapat dipertimbangkan (misalnya jika obat diperlukan untuk
mengatasi situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang
lebih aman tidak efektif atau tidak dapat diberikan)
·
Kategori X : studi pada binatang percobaan atau
manusia telah memperlihatkan adanya abnormalitas janin berdasarkan pengalaman
pada manusia ataupun binatang percobaan,
dan besarnya risiko obat ini pada wanita hamil jelas jelas melebihi
manfaat yang mungkin diperoleh. Obat golongan ini dikontraindikasikan bagi wanita hamil atau wanita kemungkinan untuk hamil.
Ø Antibiotik yang perlu perhatian khusus ( Tidak boleh
untuk ibu hamil dan menyusui )
·
Golongan
Aminoglikosida (biasanya dalam turunan garam sulfate-nya), seperti amikacin
sulfate, tobramycin sulfate, dibekacin sulfate, gentamycin sulfate, kanamycin
sulfate, dan netilmicin sulfate.
·
Golongan
Sefalosporin, seperti : cefuroxime acetyl, cefotiam diHCl, cefotaxime Na,
cefoperazone Na, ceftriaxone Na, cefazolin Na, cefaclor dan turunan garam
monohydrate-nya, cephadrine, dan ceftizoxime Na.
·
Golongan
Chloramfenicol, seperti : chloramfenicol, dan thiamfenicol.
·
Golongan
Makrolid, seperti : clarithomycin, roxirhromycin, erythromycin, spiramycin, dan
azithromycin.
·
Golongan
Penicillin, seperti : amoxicillin, turunan tridydrate dan turunan garam Na-nya.
·
Golongan
Kuinolon, seperti : ciprofloxacin dan turunan garam HCl-nya, ofloxacin,
sparfloxacin dan norfloxacin.
·
Golongan
Tetracyclin, seperti : doxycycline, tetracyclin dan turunan HCl-nya (tidak boleh
untuk wanita hamil), dan oxytetracylin (tidak boleh untuk wanita hamil).
Ø Obat Aman Bagi Kehamilan.
Berikut beberapa contoh antibiotik yang
dinyatakan aman digunakan selama kehamilan:
·
Amoxicillin
·
Ampicillin
·
Clindamycin
·
Erythromycin
·
Penicillin
Ø Daftar Indeks keamanan Obat Antibiotik untuk Ibu
Hamil/Kehamilan & Menyusui :
Lactation Risk Categories
|
Pregnancy Risk Categories
|
§
L1 (safest)
§
L2 (safer)
§
L3 (moderately
safe)
§
L4 (possibly
hazardous)
§
L5 (contraindicated)
|
§
A (controlled
studies show no risk)
§
B (no
evidence of risk in humans)
§
C (risk
cannot be ruled out)
§
D (positive
evidence of risk)
§
X (contraindicated
in pregnancy)
|
Antibiotika
|
||||||
Generik
|
Dagang
|
PRC
|
LRC
|
|||
Amoxicillin
|
Larotid,
Amoxil
|
Approved
|
B
|
L1
|
||
Aztreonam
|
Azactam
|
Approved
|
B
|
L2
|
||
Cefadroxil
|
Ultracef,
Duricef
|
Approved
|
B
|
L1
|
||
Cefazolin
|
Ancef, Kefzol
|
Approved
|
B
|
L1
|
||
Cefotaxime
|
Claforan
|
Approved
|
B
|
L2
|
||
Cefoxitin
|
Mefoxin
|
Approved
|
B
|
L1
|
||
Cefprozil
|
Cefzil
|
Approved
|
C
|
L1
|
||
Ceftazidime
|
Ceftazidime,
Fortaz, Taxidime
|
Approved
|
B
|
L1
|
||
Ceftriaxone
|
Rocephin
|
Approved
|
B
|
L2
|
||
Ciprofloxacin
|
Cipro
|
Approved
|
C
|
L3
|
||
Clindamycin
|
Cleocin
|
Approved
|
B
|
L3
|
||
Erythromycin
|
E-Mycin,
Ery-tab, ERYC, Ilosone
|
Approved
|
B
|
L1
L3 early postnatal |
||
Fleroxacin
|
-
|
Approved
|
-
|
NR
|
||
Gentamicin
|
Garamycin
|
Approved
|
C
|
L2
|
||
Kanamycin
|
Kebecil,
Kantrex
|
Approved
|
D
|
L2
|
||
Moxalactam
|
Moxam
|
Approved
|
-
|
NR
|
||
Nitrofurantoin
|
Macrobid
|
Approved
|
B
|
L2
|
||
Ofloxacin
|
Floxin
|
Approved
|
C
|
L2
|
||
Penicillin
|
-
|
Approved
|
B
|
L1
|
||
Streptomycin
|
Streptomycin
|
Approved
|
D
|
L3
|
||
Sulbactam
|
-
|
Approved
|
-
|
NR
|
||
Sulfisoxazole
|
Gantrisin,
Azo-Gantrisin
|
Approved
|
C
|
L2
|
||
Tetracycline
|
Achromycin,
Sumycin, Terramycin
|
Approved
|
D
|
L2
|
||
Ticarcillin
|
Ticarcillin,
Ticar, Timentin
|
Approved
|
B
|
L1
|
||
Trimethoprim/sulfamethoxazole
|
Proloprim,
Trimpex
|
Approved
|
C
|
L3
|
||
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Obat
yang aman untuk ibu hamil yaitu obat yang tidak menembus plasenta.
2.
Berikut
adalah faktor obat menembus plasenta :
a.
Kelarutan dalam lemak.
b.
Derajat ionisasi.
c.
Ukuran molekul .
d.
Ikatan protein.
3. Berikut beberapa
contoh antibiotik yang dinyatakan aman digunakan selama kehamilan:
·
Amoxicillin
·
Ampicillin
·
Clindamycin
·
Erythromycin
·
Penicillin
4.
Berikut
adalah antibiotik yang mempengaruhi janin
·
Golongan Aminoglikosida (biasanya dalam turunan garam sulfate-nya),
seperti amikacin sulfate, tobramycin sulfate, dibekacin sulfate, gentamycin sulfate,
kanamycin sulfate, dan netilmicin sulfate.
·
Golongan Sefalosporin, seperti : cefuroxime acetyl, cefotiam diHCl,
cefotaxime Na, cefoperazone Na, ceftriaxone Na, cefazolin Na, cefaclor dan
turunan garam monohydrate-nya, cephadrine, dan ceftizoxime Na.
·
Golongan Chloramfenicol, seperti : chloramfenicol, dan thiamfenicol.
·
Golongan Makrolid, seperti : clarithomycin, roxirhromycin, erythromycin,
spiramycin, dan azithromycin.
·
Golongan Penicillin, seperti : amoxicillin, turunan tridydrate dan
turunan garam Na-nya.
·
Golongan Kuinolon, seperti : ciprofloxacin dan turunan garam HCl-nya,
ofloxacin, sparfloxacin dan norfloxacin.
·
Golongan Tetracyclin, seperti : doxycycline, tetracyclin dan turunan
HCl-nya (tidak boleh untuk wanita hamil), dan oxytetracylin (tidak boleh untuk
wanita hamil).
B.
SARAN
Dalam mengoptimalkan pelayanan kesehatan, sebagai
farmasis juga harus mengetahui indeks keamanan ibu hamil dan menyusui. Karena
disaat kita dilapangan ( apotek ) pasti juga akan menemui pasien swamedikasi
ibu hamil atau ibu menyusui.
DAFTAR PUSTAKA
·
Katzung BG. 1987. Basic
and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical Book : California.
·
Speight TM. 1987. Avery’s Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical
Pharmacology and Therapeutics, 3rd edition.ADIS
press : Auckland.
·
Suryawati S et al. 1990. Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM :Yogyakarta
·
Departemen Kesehatan Republik Indonesia . 2006. Pedoman
Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta
·
Anonimus. 2011. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 11. Medita Indonesia : Jakarta
·
http://kellymom.com/bf/can-i-breastfeed/meds/aap-approved-meds/#Antibiotics